Mendorong Ekonomi Zakat dan Memperkuat Larangan Perjudian

Mendorong Ekonomi Zakat dan Memperkuat Larangan Perjudian

Mendorong Ekonomi Zakat dan Memperkuat Larangan Perjudian

INFOFILANTROPI.COM, Sri-Edi Swasono, seorang ekonom terkemuka dan menantu Bung Hatta, pada tahun 1984 menyampaikan gagasan visioner mengenai zakat yang tetap relevan hingga saat ini. Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia dan mantan Asisten Menteri/Kepala Bappenas ini, zakat seharusnya diperhitungkan dan dimanfaatkan dalam upaya memperbaiki perekonomian negara yang masih menghadapi kesenjangan sumber daya. Dengan memperkuat peran dan penggunaan zakat, tidak hanya zakat akan lebih dapat diandalkan dan efektif, tetapi juga peran Islam dalam ekonomi nasional akan meningkat signifikan. Umat Islam dapat berpartisipasi lebih aktif dalam mengarahkan jalannya ekonomi Indonesia.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa zakat dapat menjadi solusi alternatif untuk masalah kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Afzalur Rahman, Deputy Secretary General The Muslim School Trust London UK, dalam bukunya Doktrin Ekonomi Islam (Jilid 3 dan 4), menjelaskan bahwa zakat adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap muslim yang memenuhi syarat tertentu (nisab) dalam kondisi apapun. Dana yang terkumpul digunakan untuk membantu anggota masyarakat yang kurang beruntung, sehingga zakat membentuk masyarakat yang saling bekerja sama, berfungsi sebagai lembaga penjamin (asuransi), dan penyedia dana cadangan bagi komunitas Islam. Salah satu tujuan utama zakat adalah mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat.

Al-Quran, dalam surat Al-Baqarah ayat 219 dan surat Al-Maidah ayat 3 serta ayat 90, memperingatkan bahaya riba dan perjudian sebagai kejahatan sosial. Kata “maisir” (judi) dalam bahasa Arab berarti memperoleh sesuatu dengan mudah tanpa kerja keras atau mendapatkan keuntungan tanpa bekerja. Kata “azlam” dalam Al-Quran juga merujuk pada praktik perjudian. Islam dengan tegas melarang segala bentuk perjudian dan penjualan undian bagi umat Muslim, sebagaimana ditegaskan oleh Rahman.

Zakat, sebagai rukun Islam ketiga, memiliki pesan teologis untuk mendorong pemerataan ekonomi tanpa riba, perjudian, dan korupsi. Dalam perspektif ekonomi, zakat sebagai instrumen keagamaan mendorong setiap muslim mencari rezeki yang halal. Zakat, yang berarti bersih dan tumbuh, bukanlah untuk membersihkan harta dan penghasilan yang kotor atau tidak halal, melainkan untuk membersihkan harta dan penghasilan yang halal dari hak-hak orang lain, seperti hak fakir miskin dan ibnu sabil.

Orang yang awalnya menerima zakat, dengan usaha dan kegigihannya, dapat mencapai kemandirian dan menjadi pembayar zakat. Penyaluran zakat melalui organisasi pengelola zakat dilakukan dengan pola konsumtif untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahik dan pola produktif untuk meningkatkan kualitas hidup serta kemampuan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, zakat menggerakkan perputaran uang dan modal dari mereka yang berkecukupan kepada yang membutuhkan.

Spirit zakat mengingatkan bahwa hak milik memiliki fungsi sosial dan kekayaan tidak boleh hanya beredar di tangan sekelompok orang. Sarana penanggulangan kemiskinan dalam Islam, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, meliputi: pertama, bekerja; kedua, bantuan dari sanak famili yang berkecukupan; ketiga, zakat; keempat, jaminan keuangan negara (Baitul Mal) dengan segala sumbernya; kelima, kewajiban di luar zakat seperti hak tetangga, kurban, fidyah, dan lainnya; dan keenam, sedekah sukarela dan kemurahan hati individu, seperti wakaf.

Kewajiban berzakat mengajarkan etika ekonomi yang bebas dari riba, perjudian, dan korupsi. Perjudian, baik tradisional maupun online, menyedot perputaran uang dalam jumlah besar dan sama sekali tidak membawa kemakmuran bagi rakyat.

K.H. Bisri Mustofa, dalam tafsir Al-Ibriiz, mencatat bahwa sahabat Umar bin Khattab, Mu’adz bin Jabal, dan beberapa sahabat Anshar meminta fatwa kepada Nabi Muhammad mengenai hukum khamr (minuman keras) dan maisir (judi). Allah menurunkan ayat surat Al-Baqarah 219, yang menyatakan bahwa meskipun kedua perbuatan tersebut memiliki manfaat, dosanya lebih besar dari manfaatnya.

Perjudian online yang marak belakangan ini menjerat banyak orang, mulai dari orang dewasa hingga remaja, pekerja formal dan informal. Kecanduan judi memiliki efek negatif yang serius di masyarakat, melemahkan motivasi kerja, mendorong mental spekulatif, dan menciptakan perputaran uang yang tidak sehat dalam perekonomian. Kerusakan moral akibat perjudian jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapat. Bahaya riba dan judi diperingatkan dalam ayat-ayat Al-Quran agar manusia menjauhi perbuatan dosa tersebut.

Perputaran uang yang bersih dari perjudian dan riba mencerminkan sehatnya cara berpikir dan suburnya ekonomi. Sebaliknya, perputaran uang dari praktik judi, riba, dan korupsi merusak kesejahteraan individu dan masyarakat.

Ekonomi syariah dan ekonomi halal mendorong perputaran uang tanpa judi, riba, dan korupsi. Dalam negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, segala perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, melanggar hukum, dan tidak diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dibiarkan.

Judi dilarang berdasarkan hukum (KUHP) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Judi merupakan sumber kekacauan dalam keluarga, membuat orang malas bekerja, dan bertentangan dengan tujuan pembangunan sumber daya manusia yang produktif. Judi menjauhkan keberkahan, sehingga sosialisasi dan edukasi larangan judi serta langkah untuk menghentikan judi online yang kini sudah meresahkan memerlukan kerjasama berbagai pihak.

Perjudian memperparah kemiskinan, baik materi maupun rohani. Berbeda dengan ekonomi zakat yang mensejahterakan, ekonomi judi hanyalah pseudo-economic, ekonomi semu yang mengandung mudharat. Dalam pemahaman beragama yang moderat, yang ditolak dan diberantas adalah perbuatan judi, bukan manusianya. Sumber : Kemenag

M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang