Maksimalkan Potensi Wakaf: Solusi Inovatif untuk Fiskal dan Pembangunan Nasional

Maksimalkan Potensi Wakaf: Solusi Inovatif untuk Fiskal dan Pembangunan Nasional

Maksimalkan Potensi Wakaf: Solusi Inovatif untuk Fiskal dan Pembangunan Nasional

INFOFILANTROPI.COM, Dalam sejarah Islam, kebijakan fiskal bertujuan untuk menciptakan distribusi kekayaan yang seimbang dalam masyarakat, dengan tujuan mengatur pemasukan dan pengeluaran negara guna mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sistem fiskal dalam Islam tidak hanya mengatur aspek finansial negara tetapi juga berperan dalam menciptakan harmoni sosial dan keadilan ekonomi.

Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menguraikan beberapa sumber pemasukan negara dalam perspektif ekonomi Islam, seperti zakat, kharaj (pajak pertanian), jizyah (pajak perorangan bagi non-Muslim), khums (pajak harta rampasan perang), usyur (pajak perdagangan), warisan kalalah (harta peninggalan orang tanpa ahli waris), kaffarat (denda), hibah, dan pendapatan halal lainnya.

Selama era Abu Bakar hingga Dinasti Abbasiyah, pengelolaan sumber pendapatan negara mengalami perkembangan signifikan. Khalifah Umar memulai pembentukan Kementerian Keuangan karena semakin banyaknya harta rampasan perang yang tidak lagi cukup dikelola oleh Baitul Maal. Muawiyah bin Abu Sufyan juga membentuk Diwan Kharraj, lembaga yang bertugas mengelola dan mendistribusikan manfaat pajak secara merata untuk kesejahteraan umum.

Zakat, infak, sedekah, dan wakaf memainkan peran penting dalam sistem fiskal. Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah mencapai nisab untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada yang berhak menerimanya, seperti fakir miskin dan asnaf lainnya. Sementara itu, infak, sedekah, dan wakaf adalah pemberian sukarela yang sangat dianjurkan dalam Islam, dengan tujuan menciptakan kesejahteraan sosial.

Dalam sejarah Islam, tata kelola zakat dan wakaf merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Negara hadir untuk mempertemukan pihak surplus (muzaki) dengan pihak defisit (mustahik) melalui semangat pemerataan pendapatan. Tujuannya adalah mengubah mustahik menjadi muzaki. Peran negara dalam hal ini adalah memfasilitasi tata kelola ZISWAF sesuai syariat agama.

Jika sumber pemasukan seperti kharaj dan jizyah berkontribusi dalam pembiayaan negara dan pembangunan infrastruktur, maka ZISWAF juga berperan dalam program-program jaring pengaman sosial, pembangunan infrastruktur keagamaan, dan pengembangan SDM. Contohnya, wakaf telah memberikan bantuan ekonomi bagi keluarga baru di era Dinasti Fatimiyah dan Mamalik serta mendirikan Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir.

Di Indonesia, peran wakaf sebagai sumber fiskal belum banyak disadari. Padahal, ribuan aset wakaf berupa tanah dan bangunan telah digunakan untuk mendukung fasilitas publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Sekitar 1.100 Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh Indonesia berdiri di atas tanah wakaf, dan lebih dari 51 juta umat Islam mendapatkan layanan keagamaan. Selain itu, terdapat 19.000 titik lahan wakaf untuk pemakaman umum di seluruh Indonesia, mengurangi beban negara dalam menyediakan lahan kuburan yang semakin terbatas, terutama di perkotaan.

Wakaf juga berperan besar dalam bidang pendidikan. Menurut Kementerian Agama, terdapat sekitar 55.103 lokasi madrasah di Indonesia, dengan jumlah total siswa mencapai 9.127.047 orang. Sebanyak 47.443 lokasi madrasah tersebut berdiri di atas tanah wakaf, yang berarti sekitar 86% dari total madrasah di Indonesia menggunakan aset wakaf.

Lalu, bagaimana strategi memperkuat wakaf sebagai sumber fiskal negara di masa depan?

Pertama, restrukturisasi regulasi dan tata kelola wakaf uang. Potensi wakaf uang yang besar berasal dari sifatnya yang fleksibel dan dapat diinvestasikan dalam berbagai instrumen keuangan yang menguntungkan. Hasil dari wakaf uang dapat digunakan untuk membiayai proyek publik yang mendukung pembangunan nasional.

Kedua, optimalisasi pemanfaatan wakaf tanah untuk kebutuhan rumah susun, perkantoran, dan pemakaman. Program ini perlu diduplikasi agar aset-aset wakaf benar-benar dimanfaatkan. Wakaf tanah juga dapat digunakan untuk membangun infrastruktur sosial seperti sekolah dan rumah sakit.

Ketiga, diversifikasi jenis wakaf dengan mendorong wakaf bergerak selain uang, seperti wakaf saham, wakaf emas, atau wakaf properti. Diversifikasi ini memperluas basis aset wakaf dan mengurangi risiko ketergantungan pada satu jenis aset. Wakaf saham, misalnya, dapat memberikan keuntungan jangka panjang melalui dividen yang kemudian digunakan untuk kepentingan umum.

Keempat, reformulasi regulasi dan kebijakan yang mendukung pengelolaan wakaf di era RPJPN 2025-2045. Revisi UU 41 Tahun 2004 dan penguatan kelembagaan BWI, pengelolaan aset wakaf terbengkalai, dan lainnya perlu dilakukan untuk memastikan relevansi kerangka hukum yang memungkinkan inovasi dalam pengelolaan wakaf.

Penugasan khusus kepada wakaf dapat dimanfaatkan untuk meratakan pemberdayaan ekonomi dan menyediakan lahan untuk pembangunan yang mendukung pertumbuhan masyarakat. Wakaf dapat diberikan mandat untuk mengatasi isu-isu strategis dalam pembangunan keagamaan, seperti pembangunan kawasan ekonomi khusus, fasilitasi program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan, pemanfaatan aset tanah wakaf untuk pembangunan infrastruktur sosial, pengembangan proyek pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat, dan investasi dalam program renovasi dan pemeliharaan infrastruktur ekonomi.

Agar potensi wakaf dapat lebih dioptimalkan untuk pembangunan nasional berkelanjutan, pemerintah harus memastikan pengelolaan yang profesional dan transparan. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat perlu diturunkan dalam sistem kerja sama yang terintegrasi dan terukur. Wallahu a’lam bishowab.