Hukum Berkurban Untuk Orang Yang Sudah Meninggal, Begini Penjelasannya

ilustrasi foto: freepik
INFOFILANTROPI.COM, JAKARTA – – Dalam hitungan hari kedepan kaum muslimin akan merayakan hari yang agung yakni Idul Adha atau di kalangan Masyarakat Indonesia dikenal juga dengan sebutan Idul Qurban atau Kurban. Pada momen ini kaum muslimin yang mampu berkurban disunnahkan dan sangat dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yakni menyembelih hewan ternak, misalnya sapi, kerbau, unta atau pun domba/ kambing.
Lalu bagaimana hukumnya jika melaksanakan kurban untuk orang yang sudah meninggal? Misalnya orangtua yang sudah meninggal. Boleh atau terlarang? Terkait hal ini, dihimpun dari berbagai sumber ada berbagai pendapat yang berbeda.
Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.
“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)
Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.
“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)
Sementara itu Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ penah diajukan pertanyaan, “Bolehkah niatan qurban untuk mayit?”
Jawaban para ulama Al-Lajnah, “Para ulama sepakat, hal itu masih disyariatkan karena sisi asalnya termasuk sedekah jariyah. Sehingga boleh berniat qurban untuk mayit. Dalil yang melatarbelakangi hal ini adalah hadits umum,
إِذَا مَاتَ اِبْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia meninggal dunia, maka amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Al-Bukhari dalam Adab Al-Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.)
Berkurban atas nama orang yang telah meninggal dunia, baik itu orangtua, atau pun keluarga dekat termasuk bagian dari sedekah jariyah. Di dalamnya terdapat manfaat untuk orang yang berqurban, untuk mayit dan yang lainnya. Pernyataan ini ditandatangani oleh ketua Al-Lajnah saat itu: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz.
Namun jika masih ada beda pendapat atau pandangan didalam keluarga maka hal tersebut diserahkan pada pemahaman dan keyakinan masing-masing individu. Sikap bijaksana adalah dengan tetap saling menghargai dan menghormati, tanpa saling menyalahkan dan merasa paling benar pendapatnya. [ ]