Momen Halal Bihalal, KH Athian Ungkap Makna Mendalam Minta Maaf dari Dosa Fahisyah

Halal Bihalal

Ketua FUUI, KH Athian Ali M. Dai ( foto: dok.pribadi)

INFOFILANTROPI.COM, BANDUNG – – Sudah menjadi tradisi usai perayaan Idul Fitri dan memasuki bulan Syawal, kaum muslimin khususnya di Indonesia menggelar kegiatan Halal Bihalal. Momen Halal Bihalal ini biasanya digelar di perkantoran, sekolah dan tempat kerja lainnya saat masuk kerja pertama kali usai liburan lebaran. Pada kegiatan Halal Bihalal ini para hadirin saling maaf memaafkan dengan saling bersalaman.

Terkait hal ini, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) memberikan perspektif mendalam tentang hakikat meminta maaf dan pengampunan dalam ajaran Islam. Melalui pandangan Ketua Umumnya, KH Athian Ali M. Dai, FUUI mengajak umat muslim untuk memahami secara komprehensif makna sejati dari proses saling memaafkan.

Dalam pandangannya, KH Athian membedakan dua kategori dosa yang memiliki mekanisme pengampunan berbeda, sebagaimana tertuang dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 135. Pertama, dosa mendzalimi diri sendiri, yakni pelanggaran personal seperti sengaja meninggalkan shalat, tidak shaum , atau tidak melaksanakan ibadah haji. Untuk jenis dosa ini dapat langsung diselesaikan melalui taubat nasuha (pertobatan murni) kepada Allah SWT tanpa memerlukan permohonan maaf kepada pihak lain.

Kategori kedua adalah dosa fahisyah, yakni dosa seseorang kepada Allah SWT yang juga melibatkan pelanggaran terhadap hak orang lain.

“Untuk dosa jenis ini, proses taubatnya tidak cukup hanya dengan bertaubat kepada Allah SWT semata, tetapi salah satu syarat untuk bertaubat kepada,Allah SWT seseorang harus terlebih dahulu meminta maaf kepada pihak yang dizalimi dan mendapatkan pengampunan darinya,” tegas KH Athian.

 

Proses Pengampunan yang Mendalam

Menurut pandangan KH Athian, dosa fahisyah membutuhkan penyelesaian konkret. Misalnya dalam kasus pencurian  dan atau korupsi,  pelaku tidak cukup hanya sekadar meminta maaf, melainkan wajib mengembalikan yang dicuri atau dikorupsi. Demikian pula untuk berbagai pelanggaran lain seperti mendzalimi , menyakiti perasaan orang lain  dan memfitnah, dimana

“Persoalan dengan pihak yang dizalimi harus diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian seseorang berhak memohon ampunan Allah SWT ” jelasnya.

 

Kritik terhadap Seremonial Halal Bihalal

Meskipun mendukung tradisi halal bihalal, KH Athian mengkritik praktik meminta maaf yang sekadar seremonial. Menurutnya, proses pengampunan dalam Islam mensyaratkan “ijab qabul” yang jelas, bukan sekadar ucapan “mohon maaf lahir batin” yang hampa makna.

” Jika memang ada dosa faahisyah, maka dalam proses maaf memaafkan, tidak cukup dengan hanya menyatakan ” Mohon maaf lahir batin, nol-nol, kosong-kosong ” tanpa menjelaskan kepada pihak yang didzalimi,  kesalahan apa yang pernah dilakukannya. ” ujarnya kritis.

Sebagai contoh, ia menggambarkan skenario di mana seseorang yang telah membuat fitnah hingga menghancurkan rumah tangga, karier, atau usaha orang lain, tentu saja tidak cukup dengan hanya sekadar meminta maaf tanpa menyebutkan kesalahan yang diperbuatnya secara spesifik.

 

Pertanggungjawaban Spiritual dan Sosial

Lebih lanjut, KH Athian menekankan pentingnya pertanggungjawaban komprehensif, terutama untuk pelanggaran berskala besar seperti korupsi. Menurutnya, pelaku tidak cukup hanya sekadar meminta ampun kepada Allah SWT menjalani hukuman, atau meminta maaf, tetapi juga wajib mengembalikan hasil korupsi.

“Kalau tidak nenungkinkan untuk meminta maaf kepada sekian juta rakyat satu per satu, maka minimal  dengan membuat video pernyataan , pengakuan dan pernohonan maaf serta dengan  mengembalikan hasil korupsinya,” sarannya.

Jika itu tidak dilakukan di dunia,  maka proses taubatnya  kepada Allah SWT tertunda sampai kiamat, dimana seseorang terancam  “muflish” (bangkrut) di akhirat karena kehilangan seluruh amal kebaikannya akibat kezaliman yang tidak diselesaikan.  Rasulullah SAW bersabda,

“Tahukah kalian siapa yang disebut sebagai orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki uang atau harta benda.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang benar-benar bangkrut dari kalangan umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, di saat yang sama, mereka juga membawa dosa karena pernah mencela, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul sesama. Maka kelak, kebaikan-kebaikan yang dimilikinya akan diberikan kepada orang-orang yang pernah ia zalimi. Jika seluruh amal kebaikannya telah habis, sedangkan dosa kezalimannya belum terbayar, dosa-dosa orang yang terzalimi akan dipindahkan kepadanya. Akhirnya, dia pun akan dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581).

 

Pesan Akhir

Dalam pandangannya, proses pengampunan ini merupakan bentuk penghargaan Allah SWT kepada manusia, agar setiap orang “Hendaknya berpikir seribu kali sebelum berbuat dzalim  kepada orang lain,” tegasnya.

Menjelang Idul Fitri, pesan KH Athian mengajak umat muslim untuk tidak sekadar melakukan ritual, melainkan menghayati esensi spiritual dan sosial dari tradisi saling memaafkan. [ ]