Regulasi dan Tantangan Sertifikasi Halal pada Obat di Indonesia
![Regulasi dan Tantangan Sertifikasi Halal pada Obat di Indonesia](https://infofilantropi.com/wp-content/uploads/2024/08/13AgustusIF-obathalalcroop.jpg)
Dok. Halalmui.org
INFOFILANTROPI.COM, Secara khusus, kewajiban sertifikasi halal untuk produk obat-obatan dan farmasi diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023. Regulasi ini mencakup sertifikasi halal untuk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang dipasarkan di Indonesia. Sertifikasi halal diterapkan secara bertahap sesuai dengan jenis produk obat. Untuk obat tradisional dan suplemen kesehatan, sertifikasi wajib mulai dari 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2026. Obat bebas dan obat bebas terbatas harus bersertifikat halal pada periode 2021 hingga 2029, sementara obat keras (kecuali psikotropika) wajib bersertifikat halal dari 2021 hingga 2034. Selain itu, produk biologi termasuk vaksin juga diatur dalam Peraturan Presiden.
Untuk memperjelas tantangan dalam sertifikasi halal pada obat-obatan, majalah Jurnal Halal melakukan wawancara dengan Dr. Priyo Wahyudi, M.Si, seorang dosen Fakultas Farmasi dan Sains di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka (UHAMKA) Jakarta. Dr. Priyo, yang juga merupakan Laboratory Service Expert di LPPOM MUI dan mantan Peneliti Ahli Utama bidang Bioteknologi di BPPT dan BRIN, berbagi pandangan mengenai urgensi dan tantangan dalam proses sertifikasi ini. Berikut petikan wawancaranya:
Mengapa Obat Perlu Bersertifikat Halal?
Dr. Priyo menjelaskan bahwa, seperti halnya makanan dan minuman, obat-obatan yang dikonsumsi umat Islam juga harus halal. Ini adalah kewajiban syariah yang didasarkan pada Al-Qur’an, khususnya Q.S. Al-Baqarah (2): 168, yang menyerukan agar manusia mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Dengan demikian, umat Islam wajib mengonsumsi obat-obatan yang halal.
Selain itu, dari perspektif hak konsumen, setiap warga negara berhak atas jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi. Negara bertanggung jawab untuk memastikan semua produk yang beredar di masyarakat terjamin kehalalannya, dan sertifikat halal adalah bentuk jaminan tersebut. Ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Kapan Wajib Halal untuk Obat-Obatan Diterapkan?
Kewajiban sertifikasi halal bagi obat-obatan diterapkan secara bertahap sesuai dengan jenis produknya. Berikut adalah tahapannya:
- Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan wajib bersertifikat halal mulai 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2026.
- Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas harus bersertifikat halal mulai 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2029.
- Obat Keras, kecuali Psikotropika, wajib bersertifikat halal mulai 17 Oktober 2021 hingga 17 Oktober 2034.
- Produk Biologi, termasuk vaksin, diatur dalam Peraturan Presiden.
Berapa Banyak Obat yang Sudah Bersertifikat Halal?
Menurut data dari LPH LPPOM, jumlah perusahaan obat yang mengajukan sertifikasi halal terus meningkat setiap tahun sejak 2017. Pada 2017, hanya ada 36 perusahaan dengan 484 produk obat halal. Namun, pada 2020, jumlah perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal melonjak menjadi 138 dengan 2.146 produk obat halal. Tahun 2021 mencatat peningkatan tertinggi, dengan 211 perusahaan mengajukan sertifikasi halal untuk 5.914 produk. Data ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari para produsen obat di Indonesia untuk memastikan produk mereka bersertifikat halal.
Tantangan Sertifikasi Halal di Industri Obat
Meskipun banyak produsen yang berkomitmen, proses sertifikasi halal di industri obat tidak lepas dari tantangan. Menurut Dr. Priyo, tantangan utama terletak pada rantai pasok industri farmasi, yang meliputi:
- Penyediaan Bahan Baku: Tantangannya adalah rendahnya Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), karena bahan baku lokal yang memenuhi standar mutu dan harga kompetitif masih kurang. Akibatnya, banyak bahan baku obat, bahan penolong, dan aditif yang masih diimpor.
- Penyediaan Bahan Kemasan: Sebagian besar bahan kemas primer obat sudah diproduksi di dalam negeri, yang merupakan kabar baik.
- Fasilitas Produksi: Tantangan dalam fasilitas produksi adalah memastikan semua peralatan bebas dari najis dan bahan yang mengandung babi, untuk menghindari kontaminasi.
- Logistik dan Distribusi: Tantangan dalam logistik adalah menjaga agar tidak terjadi kontaminasi silang dengan bahan atau produk yang mengandung najis selama proses distribusi. Ini dapat diatasi dengan memastikan semua penyedia jasa distribusi sudah tersertifikasi halal.
Pemerintah terus mendukung upaya ini, dan LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) siap membantu para pelaku usaha dalam proses sertifikasi halal produk mereka. Untuk informasi lebih lanjut, pelaku usaha dapat mengakses https://halalmui.org/