20 Agustus 2025

Solusi Atas Larangan Gubernur tentang Study Tour: Talk Show pada TV Harmony 13 Agustus 2024

TV

Nara Sumber: Dr. Ayi Sobarna, M.Pd.

(Ketua Program Studi PG PAUD FTK Unisba)

 

INFOFILANTROPI.COM, BANDUNG (Unisba) — Belakangan ini, publik, bukan hanya di Jawa Barat, juga di propinsi lain, ramai membicarakan kebijakan kontroversial dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melarang sekolah menyelenggarakan kegiatan study tour.

Tak sedikit yang menyambut baik, tapi tak sedikit pula yang bertanya-tanya: benarkah larangan ini solusi terbaik? Apakah Gubernur Dedi benar-benar anti study tour?

Jika kita melihat niatnya, larangan ini sebenarnya muncul dari kepedulian. Gubernur ingin melindungi anak-anak dari kegiatan “study tour rasa piknik” yang lebih banyak menjadi ajang konsumtif daripada edukatif.

Bahkan, tak jarang pula kegiatan ini memberatkan orang tua secara ekonomi, membuka ruang bisnis tak sehat, serta menyebabkan kecemburuan sosial di antara siswa.

Namun, kebijakan yang bersifat menyapu bersih seluruh kegiatan study tour justru berisiko membuang air bersama embernya. Tak semua study tour adalah buruk.

Bahkan, jika dilakukan dengan tepat, kegiatan ini menjadi bagian penting dalam pendidikan holistik: mengasah keterampilan sosial, memperluas wawasan, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan secara kontekstual.

Masalah utama yang dihadapi saat ini adalah bergesernya esensi study tour menjadi ajang rekreasi mewah, sering kali tanpa arah edukatif yang jelas. Kegiatan seperti mengunjungi mal, tempat wisata luar kota, atau menginap di hotel bintang empat menjadi lebih dominan daripada belajar langsung dari pengalaman.

Dampaknya, banyak siswa yang tidak merasakan nilai pembelajaran. Bahkan, kegiatan ini bisa memperlebar jurang ekonomi antara siswa, karena tidak semua mampu ikut serta. Orang tua merasa terbebani. Tak sedikit sekolah yang akhirnya menjadikan study tour sebagai kegiatan tahunan “wajib” yang kehilangan makna.

Namun, solusinya bukanlah melarang secara menyeluruh. Solusinya adalah menata. Edukasi kepada kepala sekolah dan guru tentang bagaimana merancang study tour yang bermakna sangat diperlukan. Pemerintah Provinsi bisa membuat panduan baku: destinasi yang edukatif, biaya yang wajar, pembelajaran yang terukur, serta alternatif kegiatan bagi siswa yang tidak bisa ikut.

Dulu, study tour adalah kegiatan sederhana namun penuh makna. Anak-anak diajak ke museum, pabrik tahu, peternakan, atau pusat seni. Di sanalah mereka melihat langsung bagaimana proses terjadi. Pembelajaran terasa nyata.

Sekarang, banyak kegiatan serupa berubah menjadi ajang foto-foto dan konsumsi. Dengan dalih “menyenangkan anak”, kadang substansi pembelajaran dilupakan.

Namun, nanti, kita bisa membayangkan kegiatan study tour sebagai pengalaman yang kembali utuh: anak-anak mengunjungi pusat teknologi lokal, berdialog dengan petani organik, atau ikut praktik membuat kerajinan khas daerah. Di era kurikulum merdeka, inilah saatnya menjadikan study tour sebagai bentuk konkret dari pembelajaran berbasis proyek dan konteks.

Faktanya, ribuan sekolah di Jawa Barat menyelenggarakan study tour tiap tahun. Nilainya bisa mencapai miliaran rupiah. Namun, seperti pisau, study tour bisa menjadi alat yang bermanfaat atau membahayakan, tergantung siapa yang menggunakannya dan bagaimana caranya.

Saya pernah mendengar kisah seorang guru di sebuah kabupaten di Jawa Barat, yang mengajak murid-muridnya ke kebun kelor milik warga. Di sana, anak-anak belajar mengenali jenis tanaman, mengolah hasil panen, hingga membuat produk minuman herbal sederhana.

Biaya kegiatan itu tak lebih dari dua puluh ribu rupiah per anak. Mereka tidak menginap di hotel, tidak naik bus pariwisata, tapi pulang dengan penuh semangat dan cerita. Pendidikan seperti inilah yang patut dikembangkan.

Pertanyaannya, apakah pantas kegiatan seperti ini ikut terhapus hanya karena banyak praktik buruk di tempat lain? Apakah tidak sebaiknya kebijakan gubernur fokus pada memperbaiki arah, bukan menutup pintu?

Jika ingin membenahi praktik study tour, ada tiga hal yang harus dilakukan:

Tentukan standar dan panduan edukatif. Pemerintah daerah bisa menyusun daftar rekomendasi tempat edukatif, termasuk mitra lokal seperti UMKM, pesantren produktif, lembaga riset, atau situs sejarah. Berikan ruang kreativitas pada sekolah.

Tidak semua kegiatan perlu ke luar kota. Justru kegiatan yang dekat, sederhana, dan terarah bisa lebih membekas di hati anak. Bangun sistem pengawasan transparan. Libatkan komite sekolah dan orang tua untuk menyusun rencana kegiatan, agar tidak terjadi manipulasi atau pungutan liar.

Jika dilakukan dengan bijak, study tour menyimpan banyak manfaat yang tak tergantikan. Pertama, belajar kontekstual dan Nyata. Siswa belajar di luar kelas dengan melihat langsung objek pelajaran seperti sejarah di museum, biologi di kebun raya, ekonomi di UMKM. Contohnya, Melihat proses produksi tahu langsung membuat konsep produksi lebih membumi.

Kedua, memperluas wawasan dan pengalaman Sosial. Anak-anak yang terpapar budaya dan lingkungan baru, menumbuhkan empati, toleransi, dan keterbukaan. Kunjungan ke desa adat memberi perspektif baru tentang keberagaman.

Ketiga, meningkatkan semangat belajar. Pengalaman langsung membuat siswa lebih aktif, antusias, dan ingin tahu. Kunjungan ke observatorium memicu minat bertanya soal alam semesta.

Keempat, melatih kemandirian dan tanggung jawab. Mengatur perlengkapan, menjaga jadwal, dan bertanggung jawab terhadap diri dan kelompok. Siswa belajar disiplin tanpa ketergantungan pada guru.

Kelima, menjadi sumber inspirasi karier. Melihat langsung dunia kerja bisa menyalakan cita-cita dan orientasi masa depan. Contoh, kunjungan ke LIPI membuat siswa tertarik menjadi peneliti.

Jika dikelola dengan baik dan terukur, study tour bukan sekadar “jalan-jalan”, tetapi laboratorium kehidupan yang mendidik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perlu pendampingan dan perencanaan matang agar manfaat ini terasa nyata, bukan beban biaya bagi orang tua.

Jadi, apakah Gubernur Dedi Mulyadi anti study tour? Mungkin sebagian orang beranggapan begitu. Tetapi mari kita melihat lebih jernih. Ia bukan anti terhadap pembelajaran luar kelas. Ia hanya ingin menertibkan agar pendidikan tidak dibajak oleh komersialisasi dan kemewahan yang menyesatkan.

Namun, larangan total bukanlah jalan terbaik. Menata lebih baik daripada meniadakan. Seperti petani yang menemukan rumput liar di sawahnya, solusinya bukan menebang semua tanaman, tetapi mencabut gulma agar padi tumbuh subur.

Gubernur Dedi bukan pemimpin yang kaku. Ia pernah menarik keputusan penghentian operasional Bandara Husein Sastranegara ketika melihat bahwa kebijakan itu menimbulkan dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.

Seorang pemimpin sejati tak perlu malu untuk merevisi kebijakan jika tersedia jalan yang lebih baik. Justru di sanalah letak kebesaran jiwa dan kerendahan hatinya.

Karena itu, sangat mungkin, Gubernur Dedi juga akan mempertimbangkan kembali larangan study tour ini jika mendapat masukan yang bijak dan konstruktif dari para pendidik, orang tua, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya.

Mari kita jangan hanya berdebat soal larangan atau tidak. Mari kita diskusikan bagaimana membuat study tour kembali menjadi kegiatan yang membumi, membangun karakter, dan membekas dalam sanubari para pelajar. Sebab pendidikan sejati bukan hanya di kelas. Ia hidup di perjalanan, di sawah, di pabrik, di museum, dan di dunia nyata yang menanti untuk dijelajahi. [ ]